Bela Diri dalam Perspektif Islam
Anda Muslim atau muslimah? apakah anda mempelajari beladiri atau ikut masuk salah satu perguruan beladiri di tempat anda masing masing? berikut ini adalah artikel mengenai beladiri dalam prespektif Islam.
Setiap kali disebut bela diri, entah mengapa selalu saja tergambar dalam benak kebanyakan orang tentang sesuatu yang berhubungan dengan kecakapan dan kemampuan olah fisik semata. Padahal sejatinya bela diri dapat diartikan dan dipahami dengan lebih luas lagi sebagai segala upaya, usaha, dan tindakan yang dilakukan seseorang untuk menjaga dan mempertahankan eksistensi (keberadaan) dirinya.
Dengan demikian, bela diri tidaklah terbatas pada penguasaan atas keahlian seni bela diri tertentu saja. Pendidikan—formal maupun nonformal—yang telah dan sedang dijalani dapat pula dikategorikan sebagai bela diri. Kenapa tidak? Bukankah pendidikan itu merupakan usaha membekali diri dengan berbagai pengetahuan agar mampu bertahan dalam kehidupan yang dari waktu ke waktu semakun tak menentu?
Islam sebagai ajaran mulia, sempurna, dan menyeluruh tak luput memberikan jalan keluar untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan terburuk yang disebabkan oleh anasir-anasir jahat. Begitu pula dalam membela diri, Islam telah mewajibkan setiap pemeluknya menuntut ilmu sebagai sarana pendidikan diri agar tidak tersalah dalam menjalani kehidupan dunia yang akan menyebabkan kecelakaan menuju akhirat.
Yang jelas, sejauh ini tidak didapatkan satu bentuk seni bela diri pun yang diriwayatkan berasal dari Nabi, baik yang sahih, daif, bahkan maudhu’ sekalipun. Padahal Nabi—berkebangsaan Arab, tentu saja mengenal seni bela diri dalam kelompok masyarakatnya kala itu. Misalnya saja gulat. Nabi sendiri pernah memenangi ‘pertanding’ gulat. Akan tetapi, tetap belum ditemukan semacam penjelasan kalau Nabi menganjurkan gulat.
Uniknya, Islam mengamanatkan kepada para orang tua agar mengajari anak-anak mereka dengan keahlian-keahlian khusus, di antaranya memanah, menunggang kuda—berkendaraan, dan berenang. Tentu saja hal tersebut tidak termasuk dalam salah satu cabang seni bela diri manapun. Sekali lagi ini hanyalah membuktikan bahwa seni bela diri murni hasil dari tradisi suatu budaya tertentu.
Dikarenakan hal itu, dalam menyikapi seni bela diri—apa pun wujudnya—penting diperhatikan pengaruh-pengaruh tradisi dari kebudayaan tertentu yang masih melekat dalam seni bela diri bersangkutan. Islam sebagai tatanan kehidupan yang berlaku universal dan eternal (sepanjang masa) dalam menghadapi kreasi budaya yang bervariasi tidaklah menafikan semua, pun juga tidak memakbulkan segala. Selagi tidak berseberangan dengan kaidah, prinsip, dan ruh nilai-nilai Islam, seni bela diri sebagai produk kebudayaan bisa saja digiatkan.
Meskipun demikian, dalam praktiknya ada beberapa hal penting yang mesti diperhatikan bagi para praktisi, penggiat, peminat, atau sekadar penikmat pertunjukkan bela diri, antara lain:
Berbagai Perspektif
Pertama, sikap penghormatan. Setiap seni bela diri mempunyai cara dan sikap penghormatan tersendiri dalam kalangan internal, baik kepada sesama anggota, maupun kepada para pengajar. Sikap penghormatan ini berbeda antara tiap-tiap seni bela diri. Namun mereka memiliki satu kesamaan bahwa penghormatan itu dilakukan dengan gerakan tertentu seperti dengan memberikan isyarat tubuh—tangan—dan membungkukkan badan. Kedua hal ini tidak dibenarkan dalam Islam.
Fuad bin Abdil Aziz asy-Syalhub dalam Kitaab Al-Adaab menulis bahwa pada asalnya memberi salam—sebagai bentuk penghormatan—dengan isyarat adalah terlarang, karena hal itu termasuk kebiasaan ahlulkitab. Sedangkan kita (baca; umat Islam) diperintahkan untuk menyelisihi mereka dan tidak ber-tasyabbuh (menyerupai) perihal mereka. Tirmidzi telah meriwayatkan sebuah hadis tentang larangan memberi salam hanya dengan isyarat, karena hal ini merupakan syiarnya ahlulkitab. Tirmidzi menghukumi hadis tersebut sebagai hadis gharib.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata tentang hadis itu bahwa dalam sanadnya terdapat kelemahan; akan tetapi Nasa’i meriwayatkan sebuah hadis dengan sanad jayyid (bagus) dari Jabir secara marfuk, “Janganlah kalian memberi salam dengan cara yang dilakukan orang Yahudi, karena salamnya mereka itu dengan kepala dan telapak tangan serta dengan isyarat.”
Akan tetapi, hadis ini terbantah oleh sebuah hadis yang diriwayatkan dari Asma’ binti Yazid, bahwa ia berkata, “Nabi melambaikan tangannya kepada para wanita dengan salam.”
Namun, hadis ini dipahami bahwa lambaian tangan beliau sambil mengucapkan salam. Setelah menyebutkan hadis Tirmidzi, Imam an-Nawawi mengatakan, “Dalam hadis ini kemungkinan Nabi menyatukan antara pengucapan salam dengan isyarat tangan beliau. Yang menguatkan hal ini, bahwa Abu Daud pun meriwayatkan hadis ini, ia mengatakan dalam riwayatnya, “Beliau mengucapkan salam kepada kami (para wanita).”
Al-Hafizh kembali mengatakan bahwa larangan memberi salam dengan menggunakan isyarat berlaku khusus bagi orang yang mampu mengucapkan salam secara indera—lisan— dan isyarat. Jika tidak mampu, maka memberi salam dengan isyarat disyariatkan bagi orang yang sibuk dengan sesuatu yang menghalanginya untuk menjawab salam, seperti orang yang sedang salat, orang yang jauh atau orang yang bisu, demikian pula bagi orang yang tuli.
Kedua, pakaian seragam. Telah mafhum, setiap seni bela diri langsung dapat dikenali dari pakaian yang dikenakan oleh para pegiatnya. Terutama di saat latihan, lebih-lebih lagi tatkala atraksi atau dalam suatu pertandingan. Bahkan, meskipun sama-sama satu jenis seni bela diri, namun jika berbeda aliran atau perguruan, pakaian yang dikenakan selalu saja harus berbeda. Bisa saja perbedaan itu dari segi model, atau paling tidak warna dan coraknya.
Pakaian seragam ini—seperti halnya seni bela diri itu sendiri yang berasal dari satu kebudayaan tertentu— juga sangat dipengaruhi oleh sosio-kultural seni bela diri bersangkutan. Secara umum, pakaian seragam dalam seni bela diri masih bersesuaian dengan regulasi Islam mengenai pakaian, seperti menutup aurat, tidak transparan sehingga menampakkan warna kulit dibalik pakaian, dan tidak pula ketat hingga menonjolkan atau membentuk anggota tubuh tertentu.
Terdapat larangan yang keras dan laknat yang tetap dari Rasulullah. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Rasulullah melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki.” Dalam lafaz lain, “Nabi melaknat laki-laki yang berperilaku layaknya perempuan dan perempuan yang berperilaku layaknya laki-laki.”
Penyerupaan itu bisa terjadi pada cara berpakaian, cara berbicara, dan terkadang cara berjalan dan semisalnya. Dapat pula kita pahami bahwa pakaian merupakan hal utama yang akan mempengaruhi bagaimana sikap dan perilaku seeorang. Untuk itu, Islam sedini mungkin melakukan tindakan preventif dengan melarang penyerupaan yang akan mengakibatkan kekaburan identitas gender seseorang.
Ketiga, ikhtilath. Ikhtilath bermakna percampurbauran laki-laki dan perempuan dalam satu waktu, tempat, dan keadaan yang sama, di mana kecil sekali kemungkinan untuk dapat menerapkan adab-adab islami yang mengatur interaksi lintas gender dalam Islam, seperti berpakaian sopan, menahan pandangan, dan beberapa hal terkait lainnya.
Adab-adab islami dalam hal interaksi lintas gender sulit diterapkan dan menjadi berantakan selama sesi latihan ini. Bagaimana tidak, selonggar apapun pakaian yang dikenakan, namun bila gerakan-gerakan yang diperagakan sedemikian atraktif, ditambah pula melihat dan memperhatikan dengan sangat serius, mustahil kedua belah pihak dapat menjaga diri, walau dengan batas paling minimum sekalipun. Padahal Allah dalam Alquran di surat An-Nur ayat 30-31 secara khusus telah menitahkan agar kedua insane berlainan jenis ini untuk menjaga pandangan satu sama lain.
Keempat, asabiah. Asabiah dapat didefinisikan sebagai segala tindakan yang lahir atas kebanggaan-kebanggaan berlebihan karena selain kebanggaan terhadap Islam. Kebanggaan-kebanggaan itu bisa berupa karena nasab (keturunan), suku, bahasa, negara, bangsa, dan sejenisnya. Asabiah juga bisa muncul dari kebanggaan karena perkumpulan, organisasi, yayasan, partai, jamaah, mazhab, dan semisalnya. Sederhananya, asabiah adalah paham kekelompokkan.
Dalam seni bela diri, asabiah sangat terasa dari segi aliran (baca kekhasan gerak) yang dianut suatu perkumpulan seni bela diri. Antara satu seni bela diri dengan lainnya sengaja untuk mempunyai ciri-ciri gerakan tertentu yang dalam beberapa hal terkesan dipaksakan untuk berbeda. Parahnya, seseorang bahkan tidak boleh tergabung dalam dua seni bela diri pada saat bersamaan. Harus memilih salah satu, atau tidak kedua-duanya. Lebih aneh lagi, ada pula perkumpulan seni bela diri yang mengharamkan aksesoris-nya—seperti baju kaus— dipakai bagi yang bukan anggota.
Nyata sekali bagaimana kentalnya asabiah suatu perkumpulan seni bela diri dalam menjaga kewibawaan kelompoknya. Sedangkan di lain pihak Nabi sudah mengingatkan,”Tidak termasuk golongan kami orang yang menyeru kepada asabiah, tidak termasuk golongan kami orang yang membunuh karena asabiah, dan tidak termasuk golongan kami orang yang marah karena asabiah.” Bahkan dalam riwayat lain dikatakan bahwa, “…matinya itu adalah mati jahiliah.”
Sebagai penutup, tak lupa pula di sini disertakan catatan berharga untuk semua kalangan tentang satu hadis yang kerap disalahartikan. Yaitu sebuah hadis dari Abu Hurairah, ia berkata, “Nabi bersabda, ‘Mukmin yang kuat itu baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah.’” Hadis ini terlalu sering dipaksakan dengan pemahaman bahwa mukmin yang kuat itu adalah mukim yang kuat jasmani, badan, atau fisiknya. Kemudian digiring dengan penjelasan tambahan bahwa kekuatan fisik itu diperoleh melalui olah raga—diantaranya seni bela diri.
Perlu diperhatikan, hadis itu masih mempunyai sambungan, yaitu, “…dan setiap (kuat dan lemah) ada kebaikan. Raihlah sunguh-sunguh apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan Allah dan janganlah menjadi tak berdaya. Jika engkau tertimpa musibah, maka jangan katakan, “Seandainya saya tadi melakukan ini dan itu.” Tapi katakanlah, “Allah telah menakdirkan. Apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi.” Karena perkataan “law” (seandainya), membuka peluang untuk setan.”
Imam An-Nawawi dalam Al-Minhaaj mensyarahkan penggalan hadis “Mukmin yang kuat itu baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah” dengan, “Yang dimaksud dengan kuat di sini adalah azam diri dan tekad yang kuat dalam urusan-urusan akhirat. Maka orang yang memiliki sifat ini (baca kuat) lebih banyak dan lebih tegar menghadapi musuh dalam jihad, bersegera kepada jihad, dan bergegas memenuhi jihad.
Orang dengan sifat ini juga memiliki azam membara dalam amar makruf nahi mungkar. Juga bersabar terhadap segala cobaan dalam menggalakkan amar makruf nahi mungkar sembari merindukan perjumpaan dengan Allah. Ia sangat tekun salat, puasa, segala bentuk zikir, serta seluruh jenis ibadah. Rajin melaksanakan semua ibadah itu dengan berkesinambungan, dan semisalnya.”
Terhadap lanjutan hadis, “…dan setiap (kuat dan lemah) ada kebaikan…” Imam An-Nawawi kembali menguraikan, “Maknanya adalah kuat dan lemah itu, ada kebaikan pada masing-masingnya dalam hal keimanan. Bahkan keimanan yang lemah dalam praktik ibadah sekalipun—seperti mengingkari dan membenci dalam hati bagi yang tidak mampu merubah kemungkaran dengan tangan atau lisan dan ini adalah selemah-lemah keimanan(penj).”
Akhirnya, kita pun insaf dengan sabda Nabi tentang orang yang kuat bukanlah orang yang memenangkan perkelahian, tapi adalah orang yang yang mampu menahan amarah. Jelas sudah dari sekelumit penjelasan sebelum ini bahwa kuat atau kekuatan yang di maksud pada hadis-hadis yang sering dicomot sebagai pendukung dan pembenaran atas seni bela diri dan olah raga adalah sangat keliru. Padahal penjelasan para ulama lebih menekankan pada kekuatan dalam akidah yang melahirkan kelurusan ibadah serta kegigihan dalam jihad.
Dengan demikian, bela diri tidaklah terbatas pada penguasaan atas keahlian seni bela diri tertentu saja. Pendidikan—formal maupun nonformal—yang telah dan sedang dijalani dapat pula dikategorikan sebagai bela diri. Kenapa tidak? Bukankah pendidikan itu merupakan usaha membekali diri dengan berbagai pengetahuan agar mampu bertahan dalam kehidupan yang dari waktu ke waktu semakun tak menentu?
Islam sebagai ajaran mulia, sempurna, dan menyeluruh tak luput memberikan jalan keluar untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan terburuk yang disebabkan oleh anasir-anasir jahat. Begitu pula dalam membela diri, Islam telah mewajibkan setiap pemeluknya menuntut ilmu sebagai sarana pendidikan diri agar tidak tersalah dalam menjalani kehidupan dunia yang akan menyebabkan kecelakaan menuju akhirat.
Yang jelas, sejauh ini tidak didapatkan satu bentuk seni bela diri pun yang diriwayatkan berasal dari Nabi, baik yang sahih, daif, bahkan maudhu’ sekalipun. Padahal Nabi—berkebangsaan Arab, tentu saja mengenal seni bela diri dalam kelompok masyarakatnya kala itu. Misalnya saja gulat. Nabi sendiri pernah memenangi ‘pertanding’ gulat. Akan tetapi, tetap belum ditemukan semacam penjelasan kalau Nabi menganjurkan gulat.
Uniknya, Islam mengamanatkan kepada para orang tua agar mengajari anak-anak mereka dengan keahlian-keahlian khusus, di antaranya memanah, menunggang kuda—berkendaraan, dan berenang. Tentu saja hal tersebut tidak termasuk dalam salah satu cabang seni bela diri manapun. Sekali lagi ini hanyalah membuktikan bahwa seni bela diri murni hasil dari tradisi suatu budaya tertentu.
Dikarenakan hal itu, dalam menyikapi seni bela diri—apa pun wujudnya—penting diperhatikan pengaruh-pengaruh tradisi dari kebudayaan tertentu yang masih melekat dalam seni bela diri bersangkutan. Islam sebagai tatanan kehidupan yang berlaku universal dan eternal (sepanjang masa) dalam menghadapi kreasi budaya yang bervariasi tidaklah menafikan semua, pun juga tidak memakbulkan segala. Selagi tidak berseberangan dengan kaidah, prinsip, dan ruh nilai-nilai Islam, seni bela diri sebagai produk kebudayaan bisa saja digiatkan.
Meskipun demikian, dalam praktiknya ada beberapa hal penting yang mesti diperhatikan bagi para praktisi, penggiat, peminat, atau sekadar penikmat pertunjukkan bela diri, antara lain:
Berbagai Perspektif
Pertama, sikap penghormatan. Setiap seni bela diri mempunyai cara dan sikap penghormatan tersendiri dalam kalangan internal, baik kepada sesama anggota, maupun kepada para pengajar. Sikap penghormatan ini berbeda antara tiap-tiap seni bela diri. Namun mereka memiliki satu kesamaan bahwa penghormatan itu dilakukan dengan gerakan tertentu seperti dengan memberikan isyarat tubuh—tangan—dan membungkukkan badan. Kedua hal ini tidak dibenarkan dalam Islam.
Fuad bin Abdil Aziz asy-Syalhub dalam Kitaab Al-Adaab menulis bahwa pada asalnya memberi salam—sebagai bentuk penghormatan—dengan isyarat adalah terlarang, karena hal itu termasuk kebiasaan ahlulkitab. Sedangkan kita (baca; umat Islam) diperintahkan untuk menyelisihi mereka dan tidak ber-tasyabbuh (menyerupai) perihal mereka. Tirmidzi telah meriwayatkan sebuah hadis tentang larangan memberi salam hanya dengan isyarat, karena hal ini merupakan syiarnya ahlulkitab. Tirmidzi menghukumi hadis tersebut sebagai hadis gharib.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata tentang hadis itu bahwa dalam sanadnya terdapat kelemahan; akan tetapi Nasa’i meriwayatkan sebuah hadis dengan sanad jayyid (bagus) dari Jabir secara marfuk, “Janganlah kalian memberi salam dengan cara yang dilakukan orang Yahudi, karena salamnya mereka itu dengan kepala dan telapak tangan serta dengan isyarat.”
Akan tetapi, hadis ini terbantah oleh sebuah hadis yang diriwayatkan dari Asma’ binti Yazid, bahwa ia berkata, “Nabi melambaikan tangannya kepada para wanita dengan salam.”
Namun, hadis ini dipahami bahwa lambaian tangan beliau sambil mengucapkan salam. Setelah menyebutkan hadis Tirmidzi, Imam an-Nawawi mengatakan, “Dalam hadis ini kemungkinan Nabi menyatukan antara pengucapan salam dengan isyarat tangan beliau. Yang menguatkan hal ini, bahwa Abu Daud pun meriwayatkan hadis ini, ia mengatakan dalam riwayatnya, “Beliau mengucapkan salam kepada kami (para wanita).”
Al-Hafizh kembali mengatakan bahwa larangan memberi salam dengan menggunakan isyarat berlaku khusus bagi orang yang mampu mengucapkan salam secara indera—lisan— dan isyarat. Jika tidak mampu, maka memberi salam dengan isyarat disyariatkan bagi orang yang sibuk dengan sesuatu yang menghalanginya untuk menjawab salam, seperti orang yang sedang salat, orang yang jauh atau orang yang bisu, demikian pula bagi orang yang tuli.
Kedua, pakaian seragam. Telah mafhum, setiap seni bela diri langsung dapat dikenali dari pakaian yang dikenakan oleh para pegiatnya. Terutama di saat latihan, lebih-lebih lagi tatkala atraksi atau dalam suatu pertandingan. Bahkan, meskipun sama-sama satu jenis seni bela diri, namun jika berbeda aliran atau perguruan, pakaian yang dikenakan selalu saja harus berbeda. Bisa saja perbedaan itu dari segi model, atau paling tidak warna dan coraknya.
Pakaian seragam ini—seperti halnya seni bela diri itu sendiri yang berasal dari satu kebudayaan tertentu— juga sangat dipengaruhi oleh sosio-kultural seni bela diri bersangkutan. Secara umum, pakaian seragam dalam seni bela diri masih bersesuaian dengan regulasi Islam mengenai pakaian, seperti menutup aurat, tidak transparan sehingga menampakkan warna kulit dibalik pakaian, dan tidak pula ketat hingga menonjolkan atau membentuk anggota tubuh tertentu.
Terdapat larangan yang keras dan laknat yang tetap dari Rasulullah. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Rasulullah melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki.” Dalam lafaz lain, “Nabi melaknat laki-laki yang berperilaku layaknya perempuan dan perempuan yang berperilaku layaknya laki-laki.”
Penyerupaan itu bisa terjadi pada cara berpakaian, cara berbicara, dan terkadang cara berjalan dan semisalnya. Dapat pula kita pahami bahwa pakaian merupakan hal utama yang akan mempengaruhi bagaimana sikap dan perilaku seeorang. Untuk itu, Islam sedini mungkin melakukan tindakan preventif dengan melarang penyerupaan yang akan mengakibatkan kekaburan identitas gender seseorang.
Ketiga, ikhtilath. Ikhtilath bermakna percampurbauran laki-laki dan perempuan dalam satu waktu, tempat, dan keadaan yang sama, di mana kecil sekali kemungkinan untuk dapat menerapkan adab-adab islami yang mengatur interaksi lintas gender dalam Islam, seperti berpakaian sopan, menahan pandangan, dan beberapa hal terkait lainnya.
Adab-adab islami dalam hal interaksi lintas gender sulit diterapkan dan menjadi berantakan selama sesi latihan ini. Bagaimana tidak, selonggar apapun pakaian yang dikenakan, namun bila gerakan-gerakan yang diperagakan sedemikian atraktif, ditambah pula melihat dan memperhatikan dengan sangat serius, mustahil kedua belah pihak dapat menjaga diri, walau dengan batas paling minimum sekalipun. Padahal Allah dalam Alquran di surat An-Nur ayat 30-31 secara khusus telah menitahkan agar kedua insane berlainan jenis ini untuk menjaga pandangan satu sama lain.
Keempat, asabiah. Asabiah dapat didefinisikan sebagai segala tindakan yang lahir atas kebanggaan-kebanggaan berlebihan karena selain kebanggaan terhadap Islam. Kebanggaan-kebanggaan itu bisa berupa karena nasab (keturunan), suku, bahasa, negara, bangsa, dan sejenisnya. Asabiah juga bisa muncul dari kebanggaan karena perkumpulan, organisasi, yayasan, partai, jamaah, mazhab, dan semisalnya. Sederhananya, asabiah adalah paham kekelompokkan.
Dalam seni bela diri, asabiah sangat terasa dari segi aliran (baca kekhasan gerak) yang dianut suatu perkumpulan seni bela diri. Antara satu seni bela diri dengan lainnya sengaja untuk mempunyai ciri-ciri gerakan tertentu yang dalam beberapa hal terkesan dipaksakan untuk berbeda. Parahnya, seseorang bahkan tidak boleh tergabung dalam dua seni bela diri pada saat bersamaan. Harus memilih salah satu, atau tidak kedua-duanya. Lebih aneh lagi, ada pula perkumpulan seni bela diri yang mengharamkan aksesoris-nya—seperti baju kaus— dipakai bagi yang bukan anggota.
Nyata sekali bagaimana kentalnya asabiah suatu perkumpulan seni bela diri dalam menjaga kewibawaan kelompoknya. Sedangkan di lain pihak Nabi sudah mengingatkan,”Tidak termasuk golongan kami orang yang menyeru kepada asabiah, tidak termasuk golongan kami orang yang membunuh karena asabiah, dan tidak termasuk golongan kami orang yang marah karena asabiah.” Bahkan dalam riwayat lain dikatakan bahwa, “…matinya itu adalah mati jahiliah.”
Sebagai penutup, tak lupa pula di sini disertakan catatan berharga untuk semua kalangan tentang satu hadis yang kerap disalahartikan. Yaitu sebuah hadis dari Abu Hurairah, ia berkata, “Nabi bersabda, ‘Mukmin yang kuat itu baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah.’” Hadis ini terlalu sering dipaksakan dengan pemahaman bahwa mukmin yang kuat itu adalah mukim yang kuat jasmani, badan, atau fisiknya. Kemudian digiring dengan penjelasan tambahan bahwa kekuatan fisik itu diperoleh melalui olah raga—diantaranya seni bela diri.
Perlu diperhatikan, hadis itu masih mempunyai sambungan, yaitu, “…dan setiap (kuat dan lemah) ada kebaikan. Raihlah sunguh-sunguh apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan Allah dan janganlah menjadi tak berdaya. Jika engkau tertimpa musibah, maka jangan katakan, “Seandainya saya tadi melakukan ini dan itu.” Tapi katakanlah, “Allah telah menakdirkan. Apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi.” Karena perkataan “law” (seandainya), membuka peluang untuk setan.”
Imam An-Nawawi dalam Al-Minhaaj mensyarahkan penggalan hadis “Mukmin yang kuat itu baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah” dengan, “Yang dimaksud dengan kuat di sini adalah azam diri dan tekad yang kuat dalam urusan-urusan akhirat. Maka orang yang memiliki sifat ini (baca kuat) lebih banyak dan lebih tegar menghadapi musuh dalam jihad, bersegera kepada jihad, dan bergegas memenuhi jihad.
Orang dengan sifat ini juga memiliki azam membara dalam amar makruf nahi mungkar. Juga bersabar terhadap segala cobaan dalam menggalakkan amar makruf nahi mungkar sembari merindukan perjumpaan dengan Allah. Ia sangat tekun salat, puasa, segala bentuk zikir, serta seluruh jenis ibadah. Rajin melaksanakan semua ibadah itu dengan berkesinambungan, dan semisalnya.”
Terhadap lanjutan hadis, “…dan setiap (kuat dan lemah) ada kebaikan…” Imam An-Nawawi kembali menguraikan, “Maknanya adalah kuat dan lemah itu, ada kebaikan pada masing-masingnya dalam hal keimanan. Bahkan keimanan yang lemah dalam praktik ibadah sekalipun—seperti mengingkari dan membenci dalam hati bagi yang tidak mampu merubah kemungkaran dengan tangan atau lisan dan ini adalah selemah-lemah keimanan(penj).”
Akhirnya, kita pun insaf dengan sabda Nabi tentang orang yang kuat bukanlah orang yang memenangkan perkelahian, tapi adalah orang yang yang mampu menahan amarah. Jelas sudah dari sekelumit penjelasan sebelum ini bahwa kuat atau kekuatan yang di maksud pada hadis-hadis yang sering dicomot sebagai pendukung dan pembenaran atas seni bela diri dan olah raga adalah sangat keliru. Padahal penjelasan para ulama lebih menekankan pada kekuatan dalam akidah yang melahirkan kelurusan ibadah serta kegigihan dalam jihad.